Pendahuluan
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah swt.
atas hamba-Nya dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahat.
Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh suruhan Allah bagi
manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara
langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu
juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Dalam perkembangan Islam banyak sekali
dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita ketahui selain Al-Qur’an dan
As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf dan lain sebagainya. Sebagaimana sudah
menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para
ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari
maslahah mursalah dan ada pula yang menolak kehujjahannya.
A.
Maslahah
1.
Pengertian Maslahah
Secara etimologi maslahah berati
sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan ia merupakan lawan dari keburukan atau
kerusakan. Dengan kata lain baik dan benar. Menurut
Jalaluddin Abdurrohman, maslahah ialah memelihara hukum syara’ terhadap
berbagai kebaikan yang tlah digariskan dan ditetapkan batas-batasannya.Bukan
berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia belaka. Menurut Imam al-Ghazali, maslahah pada
dasarnya ialah berusaha meraih dan mewujudkan manfaat atau menolak
kemudharatan. Menurut Ibn
Tamiyah, maslahah adalah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung
kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang
berlawanan dengan hukum syara’. Jadi
dapat disimpulkan maslahah adalah kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan
kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia
saja.
2. Maslahah
Dari Segi Tingkatannya
a. Maslahah
Daruriyat
Maslahah daruriyat ialah
kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Menurut
Zakariya al-Biri ruang lingkup maslahah daruriyat dibagi menjadi lima yaitu :
1) Pemeliharaan
agama, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk perinkat, seperti melaksanakan
sholat lima waktu. Kalau sholat diabaikan maka terancamlah eksistensi agama.
2) Pemeliharaan
jiwa, seperi memenuhi kebutuhan
pokok berupa makanan atau mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabakaikan maka terancamlah eksistensi manusia.
3) Pemeliharaan
akal, menjaganya dari hal yang
merusak seperti, meminum minuman keras, narkoba, dan jenis lainnya.
4) Pemeliharaan
keturunan, seperti
disyariatkan nikah dan dilarang berzina, kalau ketentuan akan terancam sebab
tidak akan dikenali dan hilangnya tanggung jawab tentang hak-hak yang harus
dipenuhi terhadap anak.
5) Pemeliharaan
harta, seperti syariat tentang cara
pemikiran harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak sah. Apabila
ketentuan ini dilanggar maka akan mengancam eksistensi harta manusia.
b. Maslahah
Hajiyat
Maslahah hajiyat ialah
persolan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkn kesulitan
dan kesusahan yang dihadapi. Contohnya,
boleh berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sedang sakit serta mengqasar
sholat ketika dalam perjalanan.
c. Maslahah
Tahsiniyah
Maslahah tasiniyah ialah maslahah
yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta
keindahan saja. Misalnya,
dalam urusan ibadah Allah telah mensyari’atkan berbagai bentuk kesucian,
menutup aurat dan berpaikan yang indah serta memakai harum-haruman.
3. Maslahah
Dari Segi Eksistensinya
a. Maslahah
mu’tabarah
Maslahah mu’tabarah ialah
kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui
keberadaannya. Dengan kata lain kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan
terdapat dalil yang jelas utuk memelihara dan melindunginya. Allah SWT. telah menetapkan agar
berusaha dengan jihad untuk melindungi agama melakukan qisas bagi pembunuhan,
menghukum pelaku pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan
begitu pula menghukum pelaku pencurian.
b. Maslahah
Mulgah
Maslahah mulgah ialah yang
berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahah yang tertolak
karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil
yang jelas. Contohnya,
menyamakan pembagian harta warisan antara seorang perempuan dengan saudara
laik-lakinya. Penyamaan antara seoarang perempuan dengan saudara laki-lakinya
tentang warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan
ketentuan dalil nash yang jelas dan lebih rinci. Hal ini disebutkan dalam
al-Qur’an QS. An-Nisa :11
c. Maslahah
Mursalah
Secara harfiah, maslahah artinya
kebaikan,kemanfaatan, keuntungan, atau terlepas dari kerusakan Sedangkan mursalah artinya terlepas atau
terbatas. Berarti maslahah mursalah adalah terlepas dan terbatas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan. Menurut istilah syara’, sebagaimana yang
dikemukakan oleh imam Al-Ghazali dalam
kitab al-Mustasyfa, maslahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada bukti
baginya dari syarak dalam bentuk nas yang membatalkannya dan tidak ada pula
yang menetapkannya. Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas
menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode ijtihadnya, sedangkan
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidak memakainya sebagai metode ijtihad.
1) Syarat-syarat
Penggunaan Maslahah Mursalah
Para
ulama yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu
saja menerimanya, kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat
yang umum adalah ketika suatu kasus tidak ditemukan hukumnya dalam nas yang
sarih ( jelas ). Selain itu ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu
sebagai berikut :
a) Maslahah
itu bersifat riil ( hakiki ) dan umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan
atau bersifat zan. Ia juga dapat diterima akal sehat dengan dugaan kuat bahwa
maslahah itu benar-benar mendatangkan manfaat secara utuh dan menyeluruh.
b) Maslahah
mursaah digunakan dalam keadaan yang mendesak. Jika maslahah tidak digunakan,
umat akan berada dalam kesempitan dan kesulitan.
c) Maslahah
murslah hendaknya disepakati orang-orang islam tentang keberadaannya dan
terbukti di praktiknya dalam kehidupan mereka.
d) Bahwa
pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum
atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’.
2) Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Sebagian ulama mengakui bahwa
maslahah mursalah sebagai metode ijtihad.Kejadian yang tidak ada hukumnya dalam
nas, qiyas, dan ijmak.Hukumnya diserahkan kepada maslahah mursalah. Pembentukan
hukum maslahah mursalah tidak akan berhenti akan terus menerus dibutuhkan. Hal ini dikarenakan
oleh beberapa hal :
a) Masalah
umat itu selalu baru dan tidak ada habisnya, sedangkan hukumnya tidak ada dalam
nas ( Al-Qur’an dan Sunnah ).jika maslahah mursalah tidak digunakan maka akan
terjadi kekosongan hukum.
Hal itu berarti bertentangan dengan tujuan penbentukan hukum. Maka kalau
sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan ummat
manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh perkembangan mereka,
serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui
oleh syari saja, niscaya akan banyak kemaslahatan manusia yang tertinggal di
berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda
perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka. Hal ini tidak sesuai dengan apa
yang dimaksud dalam pembentukan hukum sebagai upaya perwujudkan kemaslahatan
ummat manusia.
b) Sejarah
telah membuktikan bahwa para sahabat , tabi’in, dan para mujtahid membentuk
hukum berdasarkan maslahah mursalah. Bahwasanya orang yang meneliti
pemebentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, maka ia
akan merasa jelas bahwasanya mereka telah mensyariatkan berbagai hukum untuk
merealisir kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya.
3) Kedudukan
Maslahah Mursalah sebagai Sumber Hukum
Para
ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber
hukum. Secara garis besar mereka terbagi dalam dua kelompok sebagai berikut :
a) Jumhur
ulama menolak maslahah mursalah sebagai sumber hukum, dengan alasan:
(1) Bahwa
dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia.
(2) Pembina
hukum islam yang semata-mata didasarkan pada maslahat berarti membuka pintu
bagi hawa nafsu.
b) Imam
Malik memperbolehkan berpegang pada
maslahah mursalah secara mutlak. Namun, menurut Imam Syafi’i diperbolehkan
berpegang pada maslahah mursalah apabila sesuai dengan dalil kulli atau juz’i.
pendapat ini didasari dari dua hal .
(1) Kemaslahatan
manusia berubah-ubah dan tidak ada habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi pada
maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dalam Al-Qur’an atau Sunnah, tentu
banyak kemaslahatan yang tidak ada
status hukumnya pada masa dan tempat yang
berbeda.
(2) Para
sahabat, tabiin, serta mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan
maslahat yang tidak ada petunjuknya dalam syarak. Misalnya, membuat penjara,
mencetak uang, mengumpulkan serta membukukan Al-Qur’an dan sebagainya.
Kesimpulan
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Secara etimologi maslahah berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, sedangkan mursalah adalah terlepas. Menurut terminologi
dari beberapa pengertian yang dikemuukan oleh para ulama ushul dapat
disimpulkan bahwa maslāhah mursālah adalah suatu maslahat yang tidak ada
petunjuk dari syar’i baik itu dalam Alquran dan Hadis, apakah hal itu
diperbolehkan atau dilarang. Tapi maslahat tersebut juga tidak boleh keluar
dari prinsip-prinsip syar,i. Syarat-syarat
maslahah dapat dijadikan suatu ketetapan hukum adalah Maslahatnya merupakan hal
yang benar, bukan hanya dugaan semata. Maslahat itu bersifat umum, tidak hanya
untuk kepentingan beberapa orang. Maslahat tidak boleh keluar dari
prinsip-prinsip syari’ah. Dan maslahat hanya digunakan dalam kondisi yang
memerlukan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Khalallaf,
Abdul Wahhab. 1993. Kaidah-Kaidah Hukum
Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta: Rajawali.
............, 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang
: Dina Utama.
Romli. 2014. Studi
Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syafe’I
Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung
: Cv Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar