TATANAN KELEMBAGAAN
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada suatu
kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri. Bahkan, kadang-kadang kebutuhan
itu timbul karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial dengan kebutuhan hidupnya yang
semakin kompleks, setiap individu ingin merasakan kenikmatan hidup di dunia ini
dengan nyaman. Salah satu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan
pemerintahan Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama
tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi (Tampubolon,
2014).
Masalah besar bangsa ini yaitu korupsi. Korupsi adalah
penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan pada organisasi publik untuk keuntungan
pribadi, penyalahgunaan jabatan dapat menghasilkan uang untuk kepentingan
partai, suku, kelas, teman, keluarga yang sangat dirahasiakan terhadap pihak
lain di kalangan sendiri itu (Umar, 2012). Masalahnya beraneka ragam, mulai
dari upaya pencegahan dan pemberantasan sampai pada penanganan kasus korupsi
sejak orde baru yang mencapai lebih dari satu quadrillion rupiah (lebih
dari Rp.1000 triliun). Jumlah ini akan terus meningkat, baik karena kasus
maupun karena opportunuty cost (Tuanakotta, 2010: 131).
Praktik korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi baik untuk
tingkat Asia maupun dunia. Oleh karena itu tatanan kelembagaan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pokok bahasan akutansi forensik di Indonesia
(Tuanakotta, 2010: 131). Dengan maraknya korupsi di Indonesia maka pemerintah
membuat organisasi pemberantan korupsi. Pembarantasan korupsi perlu dilakukan
untuk mendorong pembagunan, namun tentunya dengan strateginya yang tepat agar
tidak terjadi kontra produktif. Dengan strategi yang lebih tepat, pemberantasan
korupsi tentunya akan mendorong pembagunan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat (Umar, 2012).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tatanan Kelembagaan
Menurut Tuanakota (2010: 132), UUD 1945 menyebutkan lembaga negara
atau lembaga penyelenggaraan negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Hal
tersebut menganut asas tris politika yaitu ekskekutif, legislatif dan
yudikatif. Terdapat dua kotak besar dengan bingkai garis putus-putus. Kotak
besar pertama berisi tiga kotak kecil masing-masing: Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang”.
Kotak besar kedua berisi tiga kotak kecil, masing-masing: Mahkamah
Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY). Ketiga lembaga
negara ini diatur dalam satu bab yaitu Bab IX di UUD 1945 dengan judul Bab
Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan di tingkat pusat terdapat empat kelompok
kelembagaan. Pertama, kelompok lembaga mencerminkan perwakilan rakyat. Kedua,
adalah Presiden dan Wakil Presiden yang mewakili kekuasaan pemerintah negara.
Ketiga, kelompok yang mewakili kekuasaan kehakiman, kekuasaan dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan Mahkamah
Konstitusi. Dalam bab Tatanan Kelembagaan hanya membahas dua badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi baik yang
berada di pusat mauun di Daerah.
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Mahkamah
konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
keputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD yang
memutusskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya dberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutuskan perbubaran partai politik, dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ketiga keompok tersebut merupakan perwujudan konsep triyas politica
dalam ketatanegaraan, ada kelompok atau cabang legislatif (lembaga perwakilan
rakyat), eksekutif (kekuasaan pemerintah negara), dan yudikatif (kekuasaan
kehakiman). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak merupakan bagian dari ketiga
kekuatan atas kekuasaan tersebut. Lembaga BPK dikenal dalam sistem
ketatanegaraan negara-negara demokrasi.
Secara umum terdapat tiga model SAI yaitu Napoleonic system,
Westminster system dan board system. SAI adalah lembaga-lembaga di
tingkat nasional yang bertanggung jawab untuk mengaudit penerimaan dan belanja
negara. Tujuan utama SAI adalah mengawasi pengelolaan keuangan negara dan
kualitas serta kredibilitas pelaporan keuangan pemerintah. SAI menyampaikan
informasi yang dibutuhkan lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat luas, dan
membuat pemerintah akuntabel terhadap pengelolaan keuangan negara dan aset
negara. SAI adalah salah satu dari pilar-pilar utama sistem integritas nasional
di negaranya.
Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dalam bab VIII A mengatur
tentang BPK terdapat di pasal 22E yang berbunyi:
1.
Untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu
Badan Pemeriksaan Keuangan yang bebasa dan mandiri.
2.
Hasil
pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewarganegaraannya.
3.
Hasil
pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan
sesuai dengan undang-undang.
Berikut merupakan bagan kepala lembaga negara dan lembaga kuasi
negara yang berkaitan dengan sektor keuangan negara dan pemberantasan tindak
pidana korupsi:
Laporan hasil pemeriksaan, laporan hasil pemeriksaan kinerja, dan
ikhtisar hasil pemeriksaan BPK diatur di dalam UU Nomor 15 tahun 2004 dan UU
Nomor 15 tahun 2006 mengenai BPK. Arus laporan ini dimulai dari BPK menuju ke
DPR dan DPD (Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 18 ayat 1), DPRD (Pasal 17 ayat 2),
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota (Pasal 17 ayat3 dan 6, dan Pasal 18 ayat 2),
DPR/DPD/DPRD (Pasal 17 ayat 5). Apabila di dalam pemeriksaan terdapat unsur
pidana, BPK melaporkan kepada instansi yang berwenang (kepolisian, kejaksaan,
KPK) sesuai dengan Pasal 14 ayat 1.
Pada saat ini ada sekitar 50-an lembaga kursi negara yang didirikan
dengan bermacam-macam ketentuan perundang-undangan, misalnya yaitu Komnas HAM,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Anak dan Kesejahteraan Keluarga,
Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan lain-lain.
Terdapat lembaga-lembaga kursi negara yang berhubungan dengan froud khususnya
tindak pidana korupsi di sektor publik yaitu Komisi Kepolisian, Komisi
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Ombudsman.
Dalam laporan tahunan (2004) Forum Bersama APIP dijelaskan “Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) merupakan nomenklatur yang dipakai untuk
mengidentifikasikan audit di lingkungan pemerintah. Yang saat ini dikenal
Inspektorat Jenderal Departemen, Inspektorat Utama/ Inspektorat LPND dan Badan
Pengawas Daerah (Bawasda).”
Lembaga yang memfasilitasi pengungkapan tindak kejahatan termasuk
TPK yaitu Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) untuk
pencucian uang dan Interpol (dalam kecurangan lintas batas negara). Berikut
merupakan bagan komponen-komponen besar dari tatanan kelembagaan:
Gambar tersebut menunjukkan terdapat dua kelompok besar yaitu
lembaga-lembaga penyelenggara negara yang ditetapkan UUD 1945 dan kelompok
penekan. Tatanan atau tension dalam keseluruhan tatanan ini tidak lain
adalah bagian dari sistem chek and balance yang menjamin tidak adanya
kuasa mutlak di satu tangan. Kekuasaan senderung korup, dan kekuasaan mutlak
bersifat korup secara mutlak.
Di antara lembaga-lembaga negara ada tekanan satu kepada yang lain
karena kemandirian dan kewenangan yang diberikan oleh UUD 45 dan ketentuan
perundang-undangan lainnya. DPR dengan berbagai haknya seperti hak bujet dapat
menekankan lembaga-lembaga negara lain dan lembaga-lembaga kursi negara.
Melalui hak legislasinya DPR dapat mengatur lembaga-lembaga lain termasuk
lembaga swasta melalui penerbitan undang-undang. Sebaliknya, kekuasaan
pemerintahan memungkinkannya menggunakan dana SPBN/APBD yang telah disetujui
DPR/DPRD dan menguasai informasi. BPK memeriksa akuntabilitas lembaga-lembaga
negara dan kuasai negara dan melaporkannya kepada DPR. Kekuasaan kehakiman
memastikan bahwa kekuasaan pemerintah melaksanakan amanat UUD 45 dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kelompok penekan diwakili oleh beberapa lembaga kursi negara (LKN)
dan LSM. Dalam praktiknya ada kekuatan lain seperti pers dan masyarakat.
Kelompok penekan melalui kewenangan yang berasal dari ketentuan
perundang-undangan maupun karena pengakuan dan kepercayaan yang mereka peroleh
dari masyarakat, memberi tekanan kepada lembaga-lembaga penyelenggara. Tekanan
ini akan membuat atau diiharapkan akan membuat pihak lainnya menjadi waspada
dan berhati-hati. Kelompok penekan juga bisa kehilangan daya tekannya karena
praktik-praktik tidak sehat seperti menerima suap, memeras, dan lain-lain.
Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 akan memiliki tambahan
alat kelengkapan baru yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Hal itu
diputuskan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD yang prosesnya hampir mendekati tahap akhir. Tujuan
penambahan badan tersebut yaitu untuk lebih mengoptimalkan fungsi pengawasan
DPR. BAKN bewenang melaksanakan penyelidikan atas suatu berdasarkan laporan
audit Badan Pemeriksa Keuangan, masukan dari komisi atau masukan masyarakat.
BAKN akan diisi 12 sampai 13 anggota DPR senior yang pernah menjabat peling
sedikit dua periode BAKN didukung oleh 30 staf yang memiliki latar belakang
ekonomi.
B.
Lembaga Pemberantas Korupsi
KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan (www.kpk.go.id). KPK didirikan karena kelemahan aparat penegak
hukum di bidang penyelidikan dan penyidikan (kepolisian dan kejaksaan). Dalam
menghadapi tuntutan konvensi pemberatasan korupsi PBB (United Nations
Convention Against Corruption – UNCAC).
Sesudah KPK berdiri, dala era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
terdapat Tim Pemburu Koruptor dan Timtaspikor yang dikomandoi oleh pimpinan
Kejaksaan Agung.Tim Terpadu Pemburu Koruptor atau lebih dikenal dengan Tim
Pemburu Koruptor yang dibentuk melalui Menko Politik, Hukum dan Keamanan pada
17 Desember 2004. Tidak jelas dasar hukum pembentukan Tim Pemburu Koruptor ini.
Tugas Pemburu Koruptor selain memburu para koruptor yang kini bebas
di luar negeri, juga berupaya mengembalikan aset-aset milik negara yang dibawa
mereka kabur ke luar negeri. Awalnya tim ini hanya memburu terpidana yang
‘melarikan diri’. Akan tetapi, dalam perkembangannya yang menjadi tersangka
juga menjadi target. Mengenai Tim Pemburu Koruptor ini, harian Kompas,
12 Agustus 2009, menulis “Tak jelas kinerjanya, ditiadakan saja. Pasalnya hasil
kerja tim di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
itu tidak jelas, bahkan tumpang tindih dengan bidang lain.”
Kemudian ada Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang lebih
dikenal dengan nama Timtas Tipikor. Timtas Tipikor yang dibentuk berdasarkan
Keppres No. 11 tahun 2005 beranggotakan 48 orang dari kejaksaan, kepolisian,
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BKKP). Secara resmi Timtas
Tipikor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2007. Pekerjaan
yang belum selesai akan dilanjutkan kejaksaan dan kepolisian.
1. Tugas dan Wewenang KPK
Menurut Tuanakota (2010: 146), KPK dibentuk dengan tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK menganut asas: kepastian hukum,
keterbukaan, akutanbilitas, kepentingan umum, dan profesionalitas. KPK
bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya kepada Presiden,
Dewab Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tugas-tugas KPK
meliputi kegiatan:
a.
Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.
Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.
Penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
d.
Pencegahan
tindak pidana korupsi.
e.
Pemantauan
(monitoring) penyelenggaraan pemerintahan negara.
3.
Tugas
Koordinasi
Menurut Tuanakota (2010: 148), Dalam melaksanakan tugas koordinasi,
KPK berwenang:
a.
Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
b.
Menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.
Meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
terkait.
d.
Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
e.
Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana.
4.
Tugas
Supervisi
Menurut Tuanakota (2010: 148), Dalam melaksanakan tugas supervisi,
KPK berwenang:
a.
Malakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasana tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
b.
Megambil
alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Dalam hal ini KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas
perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling
lama 14 hari kerja sejak tanggal diterimanya
permintaan KPK. Penyerahan dilakukan dengan berita acara penyerahan dan
sejak saat itu tugas dan wewenang kepolisian atau kejaksaan beralih ke KPK. Pengambilan
penyidikan atau penuntutan oleh KPK dilakukan dengan alasan:
a.
Laporan
masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti.
b.
Penanganan
tindak pidana korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
c.
Penanganan
tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya
d.
Penanganan
tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi
e.
Ada
hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena investasi dari eksekutiif,
legislatif atau yudikatif
f.
Keadaan
lain yang menurut pertimbanagan kepolisian atau kejaksaan, membuat penekanan
tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
5.
Tugas
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan
Menurut Tuanakota (2010: 149), KPK melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan yang:
a.
Melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau
penyelenggara negara.
b.
Menadapat
perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau
c.
Menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
KPK berwengan
untuk:
a.
Malakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan.
b.
Memerintahkan
seseorang pergi ke luar negeri.
c.
Meminta
keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.
d.
Memerintahkan
kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.
e.
Memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka
dari jabatannya.
f.
Meminta
data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang
terkait.
g.
Menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi, serta konsensi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa.
h.
Meminta
bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penagkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
i.
Meminta
bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledehan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani.
6.
Tugas
Pencegahan
Menurut Tuanakota (2010: 152), Dalam melaksanakan tugas pencegahan,
KPK berwenang:
a.
Melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara
negara.
b.
Menerima
laporan dan mendapatkan status gratifikasi.
c.
Menyelenggarakan
program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.
d.
Merancang
dan mendorong terlaksanakannya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi.
e.
Melakukan
kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.
f.
Melakukan
kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
7.
Tugas
Pemantauan (Monitoring)
Menurut Tuanakota (2010: 152), Dalam melaksanakan tugas monitor, KPK
berwenang:
a.
Melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah.
b.
Memberi
saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan
jika berdasarkan hasil pengkajian sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi.
c.
Melaporkan
kepada presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan
Pemeriksaan Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak
diindahkan.
8.
Kewajiban
dan Larangan
Menurut Tuanakota (2010: 153), KPK berkewajiban untuk:
a.
Memberikan
perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
b.
Memberikan
informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk
memperoleh data lain yang berkaitan dnegan hasil penuntutan tidak pidan korupsi
yang ditanganinya.
c.
Menyusun
laporan tahunan dan meyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Kauangan.
d.
Menegakkan
sumpah jabatan.
e.
Menjalankan
tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas terseb ut di atas.
Pimpinan, tim penasihat, dan pegawai KPK dilarang:
a.
Mengadakan
hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada
hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi
Pembarantasan Korupsi denga alasan apapun.
b.
Menangani
perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau bawah samapi serajat ketiga
dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan.
c.
Menjabat
komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus
koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan jabatan tersebut.
C.
Anti
Corruption
Agencies
Menurut Tuanakota
(2010: 164), di Indonesia lembaga semacam
KPK dikenal sebagai Anti-Corruption Agencies (ACA). Sejak 1990 lebih
dari 30 negara di dunia mempunyai ACA. Nama ACA di Malaysia adalah Suruhanjaya
Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) atau Badan Penjegah Rasuah (BPR).
Berikut tabel yang menyajikan ACA di beberapa Negara Asia.
Anti Corruption Agencies
|
Tahun pendirian
|
Singapore Corrupt Practices Investigation Bureau
|
1952
|
Malaysia Anti Corruption Agency
|
1967
|
Hong Kong Independent Commision Against Corruption
|
1974
|
Thailand National Counter Corruption Commission
|
1999
|
South Korea Korean Independent Commission Against Corruption
|
2002
|
Indonesia Corruption Eradication Commission
|
2003
|
Dari tabel
tersebut terlihat bahwa Korea dan Indonesia termasuk negara-negara Asia yang
belakangan mempunyai ACA, sedangkan negara-negara lainnya sedang mempunyai ACA
terlebih dahulu. Terdapat dua model ACA yaitu Multi Agency Model dan Single
Agency Model.
Negara yang
menerapkan Multi Agency Model memanfaatkan lembaga-lembaga penegak hukum
yang sudah ada dan membangun lembaga kusus. Lembaga penegak hukum yang sudah
ada seperti kepolisian, kejaksaan, pengawas pasar modal, pengawas
perbankan/bank sentral, lembaga ombudsman dll. Negara yang menerapkan Multi
Agency Model yaitu Indonesia, negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Afrika
Selatan menerapkan Multi Agency Model di mana mandat untuk
pemeberantasan korupsi di sebar diantara kepolisian, kejaksaan, badan pemeriksa
keuangan (auditor general) dan lembaga perpajakan (revenue services)
dan public service commision. Publik service antiicorruption unit mempunyai
fungsi koordinasi dan bertanggungjawab untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan strategi pemberantasan korupsi di sektor publik.
Hong Kong
dan Singapura menganut Single Agency Model. Hanya terdapat satu ACA yang
kuat dan tersentralisasi. Singapura mengalami masalah korupsi yang hebat pada
dasawarsa 1950 dan 1960-an, Hong Kong pada dasawarsa 1970-an. Masalah korupsi
ini menimbulkan krisis kepercayaan di kalangan investor dan ancaman bagi
politik dalam negeri. Mereka menciptakan lembaga yang bebas dari kontaminasi
unsur-unsur korup dan lembaga ini diberi kuasa untuk membasmi korupsi. Singapura
mendirikan Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) dan Hong
Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC). CPIB dan ICAC
menjadi tolak ukur atau standar bagi ACA yang terpusat dan tangguh.
D.
Landskap
Audit Pemerintahan
Dalam administrasi negara terdapat
istilah “pemeriksaan” yang digunakan dalam makna audit ekstern (eksternal audit),
misalnya dalam kalimat “Baddan Pemeriksa Keuanga adalah satu-satunya lembaga
pemeriksa keuangan negara di Indonesia (Tuanakotta, 2010: 165). Sehingga banyak
pertanyaan muncul apakah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Inspektorat Jendral (di l, Kementrian, LPND), Badan Pengawas Daerah (di
pemerintahan Daerah), Satuan Pengawas Intern (di BUMN), dan lembaga lain yang
melakukan audit intern (internal audit),
tidak melakukan pemeriksaan? Dalam administrasi negara, lembaga-lembaga
tersebut melakukan pengawasan.
Tidak ada istilah khusus untuk
“audit” dalam kosa kata administrasi negara. Hanya ada istilah “pemeriksaan”
untuk audit ekstern dan “pengawasan” untuk audit intern. Landskap audit
pemerintahan dapat mencakup BPK maupun lembaga-lembaga audit intern atau APIP
(Aparat Pengawas Internal Pemerintah) (Tuanakotta, 2010:167).
Pada tahun-tahun terakhir baik BPK
dan BPKP telah mendokumenstasikan kebocoran-kebocaran besar serta
ketimpangan-ketimpangan luas. BPK mengklaim bahwa selama tahun 2001-2002
ketimpangan-ketimbangan pada bagian pemerintahan dan BUMN (termasuk kurangnya
bukti pengeluaran) berdampak atas sekitar USS 60 miliar dana yang dianggarkan.
Tapi, kedua badan tersebut telah mengeluh bahwa pada umumnya laporan-laporan
mereka diabaikan, tanpa ada tindakan terhadap pejabat-pejabat yang terlibat.
Beberapa faktor melemahnya proses
audit. Pertama, BPK menghadapi kendala-kendala sumber daya yang parah. Anggaran
yang disediakan oleh parlemen terbatas, dan stafnya menurut laporan kurang
memenuhi kualifikasi, dengan kurang dari 10 persen dari 2600 pegawainya
merupakan akuntan berkualifikasi. Sebenarnya jumlah auditor tidak bisa
dikatakan sebagai penyebab rendahnya kemampuan mereka melaksanakan audit.
Sebagai perbandingan, BPKP mempunyai lebih 8000 pegawai, dengan kelompok ini
cukup besar yang mempunyai kualifikasi lebih baik. Ketimpangan ini mencerminkan
kebijakan yang disengaja di zaman orde baru untuk memusatkan perhatian pada
badan audit internal. Meskipun BPK adalah lembaga tertinggi yang khusus diakui
dalam UUD Indonesia. BPK masih harus meminta anggaran kepada Departemen Keuangan,
dan kebijakan-kebijakan kepegawaiannya ditetapkan oleh Kantor Mentri Negara
Pendahyagunaan Aparatur Negara.
Kedua tidak adanya undang-undang
audit negara modern yang menyebabkan banyaknya kerancauan di balik mana
organisasi-organisasi yang ingin menghindari audit bisa bersembunyi. Banyak
organisasi, terutama militer, telah menolak untuk diaudit BPK. Ketiga,
parlemen, Departemen Keuangan, dan departemen-departemen teknis tidak mempunyai
proses yang digariskan secara jelas untuk menindaklanjuti temuan-temuan audit
dan mengambil alih langkah perbaikan, dan sebagai akibatnya tidak terjadi
tindak lanjut sistematis. Keempat, seperti dicatat, BPK tidak berwenang
mengumumkan temuan-temuannya. Jika badan tersebut mengungkapkan korupsi, ia
harus mengandalkan Kejaksaan Agung yang korup dan tidak efisien dan badan-badan
pengadilan untuk mengusut dan mengadili kasus tersebut.
Terdapat duplikasi fungsi antara BPK
dan BPKP serta para inspektur jendral. Buku Putih Departemen Keuangan (2002)
menyatakan bahwa BPK dengan berrgulirnya waktu harus menjadi satu-satunya badan
audit eksternal, yang menyerap BPKP, walaupun pemerintahan bisa mempertahankan
unit pemeriksaan keuangan kecil. Personalia BPKP juga dapat digunakan untuk
memperkuat manajemen keuangan pada departemen-departemen teknis.
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan) lahir pada tahun1936, berdasarkan bestluit (Surat Keputusan) Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936. Lahir
sebagai Regering Accountantsdies (Djawatan
Akuntan Negara atau ADN). Dinas ini meneliti pembukuan perusahaan negara dan
jawatan tertentu. Dalam tahun 1959 sampai 1966 DAN mengalami perubahan struktur
dan berganti nama menjadi Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara
disingkat menjadi DJPKN. Perubahan struktur dan penataan tersebut terus berlangsung
antara tahun 1968 sampai 1971. Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
Tanggal 30 Mei 1983, DJKPN berubah menjadi BPKP, sebuah Lembaga Pemerintahan
Non-Departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada
presiden. Keppres tersebut menandakan bahwa BPKP secara resmi melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembagunan. BPKP memiliki
25 kantor perwakilan di provinsi berikut ini:
1. NAD
|
11. Jawa Barat
|
21. Sulawesi Tengah
|
2. Sumatra Utara
|
12. Jawa Tengah
|
22. Sulawesi Utara
|
3. Sumatra Barat
|
13. DIY
|
23. Sulawesi Tenggara
|
4. Riau
|
14. Jawa Timur
|
24. Maluku
|
5. Jambi
|
15. Kalimatan Timur
|
25. Irian Jaya
|
6. Sumatra Selatan
|
16. Kalimatan Barat
|
|
7. Bengkulu
|
17. Kalimatan Selatan
|
|
8. Lampung
|
18. Bali
|
|
9. Daerah Khusus Istimewa Jakarata I
|
19. Nusa Tenggara Timur
|
|
10.
Daerah Khusus
Istimewa Jakarata II
|
20. Sulawesi Selatan
|
|
BPKP memberikan layanan kepada
instansi pemerintah baik Departemen/LPND maupun Pemerintah Daerah. Cakupan
layanan yang diberikn oleh BPKP adalah (Tuanakotta, 2010:169):
1. Audit
atas berbagai kegiatan unit kerja di lingkungan departmen/LPND maupun
pemerintah daerah
2. Policy
evaluation
3. Optimalisasi
penerimaan negara.
4. Asistensi
penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah
5. Asistensi
penerapan good corporate governance
6. Risk
management based audit
7. Audit
investigatif atas kasus berindikasi korupsi.
Berikut ini adalah landskap audit
pemerintahan yaitu (Tuanakotta, 2010:172):
Dimensi
|
BPK
|
BPKP
|
APIP Lainnya
|
Eksternal/Internal
|
Eksternal auditor
|
Internal Auditor
|
Internal Auditor
|
Dasar Hukum
|
UUD dan UU
|
Keppres
|
UU
|
Terpusat/Tersebar
|
Terpusat
|
Terpusat
|
Tersebar
|
Perwakilan
|
Semua (33) provinsi
|
25 perwakilan
|
Bagian dari struktur lembaga yang
bersangkutan
|
Lapor kepada
|
DPR
|
Presiden
|
Pimpinan Lembaga yang bersangkutan
|
Dalam membandingkan ketiga kelompok
auditor tersebut dapat ditambah dengan jumlah dan mutu auditor, kemampuan
(berasal dari lulusan perguruan tinggi STAN atau diluar STAN bisa swasta maupun
negeri) , persepsi audit atau objek yang diperiksa (misalnya ditakuti,
disegani, dihormati atau tidak diperdulikan), perpindahan atau migrasi
(misalnya apakah banyak atau sedikit perpindahan SDM dari BPKP ke BPK dan
sebaliknya).
Dimensi tersbut merupakan indikasi
atau proxy mengenai kekuatan atau
kelemahan lembaga-lembaga audit tersebut. Dimensi penting disini adalah apakah
lembaga-lembaga tersebut difokuskan kepada upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi secara umum atau penyimpangan yang dikenal sebagi waste, fraud, dan abuse.
Dari berbagai kajian lembaga
internasional, seminar dan diskusi terdapat tiga pendapat mengenai pembahruan
landskap audit pemerintahan yakni (Tuanakotta, 2010:173):
1Bubarkan
BPKP dan sebarkan SDM-nya ke Inspektorat Jendral dan Bawasda. Argumen untuk
pendapat ini adalah bahwa korupsi terjadi di lembaga negara yang harus diawasi
dari dekat (di tingkat lembaga)dengan memahami sepenuhnya tentang kondisi
lembaga tersebut dan kekhasannya (misalnya Kekhasan Departemen Agama dan
lainnya) byang melahirkan pola waste,
fraud dan abuse yang khas pula.
2. Manfaatka
BPKP yang melakukan fungsi Inspektorat Jendral dan Bawasda. Argumen untuk
pendapat ini adalah bahwa BPIP jauh lebih kuat dan independen terhadap lembaga
terhadap lembaga yang diawasinya.
3. BPKP
sebagai think tank saja, tidak usah
besar namun efektif dalam memacu Inspektorat Jendral dan Bawasda.
E.
LSM
dan Pers Sebagai Kelompok Penekan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau
Non-Governmental Organisation (NGO) bersama pers bukanlah bagian dari tatanan
kelembagaan pemerintah. Namun, keberadaanya memainkan peran penting dalam
proses check and balance sebagai
kelompok penekan atau pressure group (Tuanakotta,
2010:173).
LSM dan Pers menyuarakan rasa
ketidakadilan di dalam masyarakat, misalnya adalah kasus Prita Mulyasari yang
di dalam e-mail nya mengeluhkan
perlakuan rumah sakit Omni Internasional (Tangerang, Banten). Kasus Prita
Mulyasari hanyalah satu diantara banyak kasus di mana LSM dan Pers memainkan
peran sebagai kelompok penekan menentang ketidakadilanm oleh aparat Kepolisian,
Kejaksaan, Kehakiman sampa Mahkamah Agung.
Pressure Group sangat lazim
dalam kehidupan demokrassi. Asas trias
politica yang memisahkan kekuasaan, dilahirkan dari pemikiran check and balance satu kekuasaan
mengawasi dan diawasi oleh kekuasaan lainnya.
Pers di Indonesia memainkan peranan
penting dalam menyoroti tingkah laku para pejabat, dalam menyampaikan informasi
(seperti temuan-temuan BPK dan BPKP) secara sederhana dan cepat dan dalam
menindaklanjuti janji-janji penjabat lembaga negara yang diucapkan ketika
kampaye pemilihan umum. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti
Masyarakat Transparensi Indonesia dan Indonesia Corruption Watch juga menjadi pressure group dalam upaya pemberantasan
TPK.
F.
Pengadilan
Tipikor
Dari bebeapa butir yang diajukan
dalam permohonan judicial review, hanya satu yang dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi, yakni pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan
Undang-undang Nomer 30 Tahun 2002. Mahkamah Konstitusi memutuskan Pengadilan
Tipikor harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri sebelum akhir Desember
2009. Ketentuan Pasal 53 menyatakan bahwa: Dengan Undang-Undang ini dibentuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Hertanto, 2014: 2).
Pada tanggal 29 Deseember 2009,
Undang-Undang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindakan Korupsi
diundangkan. Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang berada di
Peradilan Umum. Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten
atau kota di Indonesia yang jumlahnya hampir 500 (Tuanakotta, 2010:182).
Dari pantauan Indonesia Corruption
Watch (ICW) selama lima tahun terakhir, komitmen pengadilan umum justru
dipertanyakan. Banyak terdakwa kasus korupsi yang diadili pengadilan umum, yang
semuanya terdiri atas hakim karier, justru dibebaskan. Ini berbeda dari
Pengadilan Tipikor, yang memadukan hakim karier dan hakim ad hoc, yang selama
ini tidak pernah membebaskan terdakwa korupsi dari hukuman. Pentauan ICW di
sejumlah pengadilan umum selama lima tahun terakhir sejak 2005, menunjukkan
jumlah tedakwa kasus korupsi yang bebas di pengadilan umum bukan berkurang, tetapi
malah meningkat. Dan terdakwa yang dihukum, hukumannya cenderung ringan.
Dalam
semester 1 tahun 2009, dari 199 perkara dan 222 terdakwa korupsi yang diperiksa
dan diputus di pegadilan umum, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi
hingga Mahkamah Agung yang terpantau ICW, 153 terdakwa divonis bebas (Tuanakotta,
2010:182). Hanya 69 terdakwa yang
bersalah; banyak terdakwa yang divonis di bawah satu tahun penjara. Dari
pengamatan ICW, ada lima pengadilan yang paling banyak membebaskan terdakwa
korupsi yakni Pengadilan Negeri Makasar (38 terdakwa), Mahkamah Agung (13
terdakwa), Pengadilan Negeri Gresik (9 terdakwa), Pengadilan Negeri Manado (8
terdakwa), Pengadilan Negeri Solo (8 terdakwa). Di Pengadilan Tipikor
keadaannya berbeda. Pada semester 1-2009 dari 29 perkara dengan 32 terdakwa
yang diperiksa dan diputus, tidak ada satu pun yang divonis bebas. Semua
terdakwa divonis bersalah. Pengadilan Tipikor juga tak pernah menjatuhkan vonis
percobaan atau dibawah satu tahun penjara. Rata-rata divonis di atas empat
tahun.
BAB III
PENUTUP
Tatanan kelembagaan penyelenggara negara telah di atur di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dengan menganut
asas tris politica yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan
ditambah satu lembaga pemeriksa yang bebas dan independen. Dalam hal
pemberantasan tindak pidana korupsi, Indonesia memiliki suatu Anti-Corruption
Agency (ACA) yang dinamakan Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK
memiliki tugas dan fungsi yang meliputi koordinasi, supervisi, penyelidikan,
pencegahan dan pemantauan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam memberantas
korupsi, KPK berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya seperti kepolisan, kejaksaan,
BPK, BPKP, inspektorat jenderal, inspektorat daerah dan lembaga-lembaga terkait
lainnya.
Landskap
audit pemerintahan dapat mencakup BPK, BPKP maupun lembaga-lembaga audit intern
atau APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah). Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) atau Non-Governmental Organisation (NGO) bersama pers bukanlah bagian
dari tatanan kelembagaan pemerintah. Namun, keberadaanya memainkan peran
penting dalam proses check and balance
sebagai kelompok penekan atau pressure
group. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus tindak
pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Hertanto, Hasril. 2014. Evaluasi Pengadilan Pidana Korupsi di
Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Volume 44, Nomer 1. Hal.
1-47.
Tampubolon, Samuel Mangapul. 2014.
Peran Pemerintah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Kaitannya Dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Lex et Stocietatis. Vol.2, No.6:
138-146.
Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi
Forensik dan Audit Investigatif. Salemba Empat: Jakarta.
Umar, Haryono. 2012. Pengawasan
Untuk Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akutansi dan Auditing. Vol. 8, No.2:
95-189.
www.kpk.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar